Labirin
Rasa
“Beri
Ruang untuk Hati Temukan Cintanya”
“Tak tentu arah bukan berarti tersesat. Mungkin hanya belum menemukan jalan yang tepat untuk ditapaki.” (Page. 1)
Labirin Rasa. Apakah kalian
punya pemikiran yang sama dengan saya? Apa arti kata labirin? Well, kali ini saya benar-benar browsing di Wikipedia bahasa Indonesia
dan menemukan arti labirin adalah sebuah sistem jalur yang rumit, berliku-liku,
serta memiliki banyak jalan buntu. Lalu, bagaimana dengan Labirin Rasa? Tenang
saja, bisa kalian temukan maksudnya setelah membaca buku dari penerbit
Wahyumedia ini.
Kayla Ayu Siringo-ringo,
tokoh utama dalam Labirin Rasa. Cewek ‘independent’
yang ceria, pemberani, tapi pemalas dalam bidang akademik. Agak gendut, tidak
peduli penampilan, tapi mandiri dan nggak jaim. Satu point untuk karakter tokoh
utama yang sangat manusiawi, lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya. Selama
21 tahun belum punya pacar, membuatnya mencari sosok Pangerang Fajar yang dikirimkan
Eyang Kakung menjadi pendampingnya. Siapa Pangeran Fajar tersebut?
Pertemuan dengan Ruben
Agung Iskandar di kereta, membuat Ruben menjadi tour guide dadakan selama Kayla liburan di Yogyakarta. Ruben pada awalnya
menampilkan aura dingin dan tidak bersahabat pada Kayla. Seiring berjalannya
cerita, Kayla mampu menakhlukkan gunung es pada diri Ruben setelah perjalanannya
ke beberapa tempat istimewa di Daerah Istimewa (baca: Yogyakarta), kota labuhan
rindu yang selalu memberikan keteduhan. Ya, adegan yang bisa ditebak saat Kayla
jatuh cinta pada Ruben, cowok brengsek yang akhirnya membuat Kayla patah hati
karena cintanya bertepuk sebelah tangan.
“Tak
ada yang perlu disalahkan. Hidup terlalu singkat untuk dipakai berlarut-larut
dalam kekecewaan.” (Page. 101)
Munculnya tokoh pengisi
lain seperti Dani, si bule David, Andy, Cinthya, serta Rossa dan Milly. Cukup
membantu untuk mendukung suasana petualangan Kayla di Malang, Bali, Lombok, dan
Makassar. Adegan ehem-uhuk-ahay pada halaman 128 sukses membuat pembaca usia
remaja (baca: saya) melontarkan kata “iiiiihh”
untuk pendeskripsian yang sangat berani itu.
Unsur kebetulan pada
pertemuan Kayla dan Ruben terkesan spontan dan unik. Iri saja, karena beberapa
kali naik kereta api, nggak pernah pengalaman kenalan sama cowok ganteng yang
bikin hati ingin lepas dari persembunyiannya. Hehe. *Plak!*
Meskipun di awal rasanya nggak
suka dengan sifat Ruben yang tidak-bisa-menjaga-perasaan-perempuan alias playboy, tapi diam-diam saya naksir
Ruben dalam deskripsi fisiknya yang diberikan penulis. Rambut gondrong, hidung
mancung, cambang tipis, cowok ala FTV. Apalagi kalau ditambah matanya agak
sipit, Ya Tuhan, idaman banget. Tapi, bagaimanapun juga, saya suka dengan
karakter Patar. Meski terlihat arogan, galak, dan dingin tapi sebenarnya
memiliki sifat pelindung. Baik aja gitu, kesannya. Eh, jadi siapa Patar ini?
Mau tahu? Makanya beli dan baca dong biar nggak penasaran.
Bicara mengenai kelebihan, membaca
novel ini rasanya seperti naik roller
coaster. Perlahan menuju titik atas bahagia lalu terhempas dalam kisah
sedih, datar, dan terulang-ulang. Nice.
Namun, setiap kelebihan selalu ada kekurangan. Penyebutan nama tokoh yang
banyak kesalahan seakan memutar otak beberapa kali untuk memahami bacaan.
Ditemukan juga alur yang menurut saya terasa ganjil pada halaman 47.
Pesan yang dapat diambil
yaitu semangat Kayla menghindari patah hati yang perlu diacungi dua jempol dan
pantas ditiru. Menenggelamkan diri pada kegiatan positif, mencapai hidup lebih
baik dan membahagiakan orang tua.
“Cinta
itu membahagiakan, namun jika ia sudah mulai jadi beban. Lepaskan jika harus
melepaskan. Beri waktu, beri ruang untuk cinta dapat bertumbuh alami hingga ia
bisa mengambil keputusan. Karena cinta tak boleh dipaksakan. Ia hinggap bebas
di hati setiap orang tanpa bisa diatur.” (Page. 84)
I
rate it 3,5 / 5 stars buat keseluruhan buku ini. Tadinya mau
kasih 4 bintang loh, tapi karena pada bab pertengahan terkesan datar akhirnya
3,5 is enough.
NB : Mbak Eka sebagai penulis, sukses menampar saya
dengan kata-katanya yang menggambarkan suasana romantis dan indahnya Kaliurang.
Beberapa kali saya ke Jogja dan belum pernah menginjakkan kaki ke tempat
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terbuka untuk dikritik dan saran. Silakan :)