A
song tells the story of your life; there’s always a personal history attached
to it.
Itulah yang menarik dari musik, setiap orang memiliki soundtrack kehidupannya
sendiri. – (halaman 19)
Pernah
nggak, setelah sekian lama nggak ketemu dengan seseorang, lo ingin tahu segala
sesuatu yang terjadi dalam hidupnya selama rentang waktu kalian nggak ketemu?
Max
dan Laura mengalaminya...
Maximillian
Prasetya, lelaki yang sejak kecil selalu terpesona pada ciptaan Tuhan yang
bernama cahaya. A light is never just
light. Bagi Max, cahaya adalah hal terindah yang ada di dunia. Cahaya juga
mengingatkannya dengan sosok perempuan bernama Laura.
Pertemuan
pertamanya dengan Laura terjadi di Melbourne University. Laura adalah perempuan
yang setia pada walkmannya. Mungkin bagi kebanyakan orang, walkman itu cuma benda
usang yang semakin tergeser oleh perkembangan teknologi. Tapi bagi Laura barang
itu sangat berarti karena tersimpan makna dibaliknya yang tidak akan pernah
terganti.
Pertemuan-pertemuan
selanjutnya selalu terjadi di tempat nongkrong kesukaan mereka berdua, Prudence
Bar. Dan disinilah mereka sekarang. 5 tahun setelah perpisahan itu. Max memilih
untuk berkeliling dunia mencapai cita-citanya sehingga menyebabkan hubungan mereka
putus. Bagusnya Max dan Laura adalah bisa berdamai dengan masa lalu, meskipun
menyakitkan dan perih.
Masa lalu selalu memiliki momen-momen tersendiri untuk membayangimu, lalu mengingatkanmu pada waktu yang kurang tepat. – (halaman 22)
2
orang yang pernah bersama-sama dalam suatu hubungan, kini bersama-sama lagi
dalam status tidak ada ‘hubungan khusus’. Apakah mungkin?
Max
dan Laura sedang mengalaminya. Ngobrol seakan semuanya yang sudah berlalu dianggap
berlalu. Sekarang mereka hanya Max dan Laura 5 tahun setelah perpisahan di
bandara. Rangkaian pertanyaan-pertanyaan yang sempat terpendam, mereka utarakan
satu sama lain tanpa harus merasa tidak enak karena status mereka hanyalah
teman.
Tetapi,
akankah segalanya akan berakhir seperti itu-itu saja? Tentu tidak. Kadang,
suatu hubungan yang pernah berakhir, dan kini kembali berbaikan lagi, akan ada
salah satu orang yang menginginkannya terulang lagi. Masa-masa indah dan
kenangan yang telah tercipta, seolah ingin dilakukan bersama-sama lagi. Entah
Max atau Laura yang merasakannya, mungkin keduanya.
Prudence
Bar dan pantai St. Kilda adalah salah satu tempat di Melbourne yang menjadi saksi
mesra dan pertengkaran Max dan Laura.
But I think believing that things happen for a reason makes it easier for us to keep going. Dengan menerima kenyataan, kita akan lebih mudah bergerak maju, mengecilkan ruang untuk rasa sesal. – (halaman 123)
**Menurutku, buku ini keren! Serius, aku dibikin jatuh cinta sama Max *eh salah*
Jatuh cinta sama cover buku ini sih nggak terlalu ya, tapi postcard yang terselip di cover depan novel ini yang bikin aku seneng. Ilustrasi dan gambar-gambar tempat di Melbourne menambah daya tarik pembacanya. Alurnya maju mundur, enak dibaca dan nggak bikin bingung. Konfliknya jelas, jatuh cinta sama pacar sahabatnya dan masih menyisakan ruang kosong di hatinya untuk dihuni seseorang di masa lalu. Manusiawi sekali, aku suka.
Postcard Melbourne |
Melbourne,
sebuah kota yang berada di Australia, dengan cuaca yang tak menentu. Cerita Max
dan Laura dalam sebuah playlist lagu yang mengiringinnya. Selamat menikmati.
Keterangan buku:
Judul
buku :
Melbourne
Penulis : Winna Efendi
Editor :
Ayuning, Gita Romadhona
Proofreader :
Mita M. Supardi, Resita Wahyu Febiratri
Penata
letak :
Gita Ramayudha
Desain
sampul : Levina Lesmana
Ilustrasi
isi : Tyo
Penerbit : Gagasmedia
Halaman : xii + 328 hlm ; 13 x 19 cm
ISBN : 979-780-645-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terbuka untuk dikritik dan saran. Silakan :)