Jumat, 09 Januari 2015

[Review] : "Pukat"


“Kitalah yang paling tahu seperti apa kita, sepanjang kita jujur terhadap diri sendiri. Sepanjang kita terbuka dengan pendapat orang lain, mau mendengarkan masukan dan punya sedikit selera humor, menertawakan diri sendiri. Dengan itu semua kita bisa terus memperbaiki perangai.” – Halaman 94


Novel Pukat adalah buku ketiga dari serial Anak-anak Mamak. Judul ini diambil dari nama tokoh utamanya itu sendiri.
 
Pukat adalah anak kedua Pak Syahdan dan Mamak Nurmas. Sebagai adik dari Ayuk Eli, Pukat terlahir menjadi anak yang pintar. Kecerdasannya itu berawal saat membantu Bapak menangani perampok di sebuah kereta. Waktu itu kereta yang akan menuju stasiun kota, tepat di terowongan muncullah segerombol perampok yang menjarah barang-barang berharga para penumpang. Dalam keadaan gelapnya terowongan, maka susah sekali mengenali raut wajah perampok-perampok itu. Tetapi Pukat berhasil membantu petugas ketika meringkus kawanan tersebut. Ia menaburkan serbuk kopi secara diam-diam ke sepasang sepatu 2 orang yang sedang meminta paksa dompet Bapak. Benar-benar anak yang pintar, bahkan jenius.

Sebuah proses panjang tentang kehidupan petani membuatnya semakin terlatih meneladani setiap proses kehidupan. Membantu Bapak dan Mamak membuka lahan, mengajari Pukat untuk bekerja keras. Bayangkan, Pukat anak kelas 6 SD sekecil itu sudah menebang pohon dnegan belincong, terperangkap duri-duri rotan di hutan, bahkan hingga terkepung dalam nyala api saat pembukaan lahan. Bukankah anak jaman sekarang lebih enak dan tidak perlu bersusah payah seperti Pukat?

Pintar saja ternyata tidak cukup untuk menjelaskan perangai Pukat. Ia sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari teka-teki Wak Yati. Pada dasarnya pertanyaan tersebut memang tidak mudah, tapi Pukat berhasil menemukan jawabannya. Satu-satunya pertanyaan Wak Yati yang sangat sulit dan butuh bertahun-tahun untuk dipecahkan cuma satu…
“Langit tinggi bagai dinding, lembah luas ibarat mangkok, hutan menghijau bagai zamrud, sungai mengalir ibarat naga, tak terbilang kekayaan kampung ini. sungguh tak terbilang. Maka yang manakah harta karun paling berharganya?”

Tentu saja jawaban dari teka-teki itu tidak seperti yang dibayangkan. Tidak sedang bicara tentang “harta karun” yang selama ini dipahami banyak orang. Lalu apa? Penasaran? Berpikirlah sedikit, rangkaikan sendiri kejadian-kejadian yang ada, lantas dengan cerdas mengambil kesimpulan.

Ah ya satu lagi, ingat Raju yang menjaga ladang jagung saat banjir? Kejutannya ada di cerita paling akhir.

“Semakin berisi, semakin merunduk, itu juga berarti kau tidak hanya selalu merasa bisa, bisa, dan bisa. Lebih penting dari itu adalah kau juga selalu merasa. Besok-lusa, kalau kalian sudah merantau ke kota-kota jauh, pulau-pulau seberang, kalian akan melihat banyak sekali orang pintar, orang hebat. Mereka selalu bilang, ya, kita bisa, ya bersama kita bisa, dan kalimat-kalimat canggih lainnya. Sayangnya, diantara begitu banyak orang hebat tersebut, sedikit sekali yang bisa berempati, merasakan, dan dipenuhi semangat kebaikan tulus.” – halaman 317


Keterangan buku:
Judul                     : Pukat
Penulis                   : Tere Liye
Editor                    : Riski Amelia
Desain cover          : Mano Wolvie
Tata letak               : Nr Alfian
Penerbit                 : Republika
Cetakan                 : Keenam, Juni 2014
Halaman                : vi + 344 hlm ; 20,5 x 13,5 cm
ISBN                      : 978-979-1102-73-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbuka untuk dikritik dan saran. Silakan :)