“Bagai mengumpulkan air segalon
raksasa lantas bocor, kebaikan-kebaikan itu musnah oleh penghujung yang jelek.
Bagai musim kemarau yang panjang terkena hujan satu jam, keburukan-keburukan
itu berguguran oleh penghujung yang baik.”
– Halaman 166
Jika kamu diberi kesempatan untuk
bertanya lima pertanyaan selama hidupmu, apakah yang akan kamu pertanyakan?
Tunggu dan simak sebuah kisah tentang seorang anak yang selalu bertuah kemudian
cermati jawaban-jawaban yang akan disampaikan oleh orang dengan wajah menyenangkan.
Begitulah hidup, serangkaian proses yang saling berantai satu sama lain.
Kisah ini tentang anak kecil berumur
belasan tahun itu bernama Rehan. Kebakaran lima belas tahun silam membuatnya
kehilangan rumah serta kedua orang tua. Sejak saat itu, ia diasuh di sebuah
Panti. Ia tumbuh bersama anak-anak Panti lainnya. Akan tetapi, Panti itu
berbeda dengan panti-panti yang lain yang menyekolahkan semua anak didiknya. Di
Panti tempat Rehan tinggal, penjaga Panti memaksa anak-anak untuk bekerja apa
saja dan setiap hari diwajibkan menyetor uang tiga ribu rupiah kepada penjaga
Panti. Ah ya, benar kata Rehan, penjaga Panti itu korup, sok-suci sok-alim. Rehan
tumbuh tertekan bersama anak-anak Panti yang lain, tetapi ia berani melawan.
Pecutan bilah bambu kerap kali mampir di telapak tangannya. Hingga hari itu menjelang
Hari Raya ia mencuri brangkas milik penjaga Panti dan membawanya kabur, tanpa
pernah kembali lagi.
Rehan sekarang memiliki tempat baru
yang bebas dan menyenangkan. Di sebuah terminal. Ia mulai mengenal perjudian
dan malam itu ia benar-benar bertuah, membuat bandar menjadi bangkrut dengan menebak
tepat angka-angka dalam tiga buah dadu. Sampai suatu ketika, ia mengalami
musibah yang menyebabkan ginjalnya terluka dan harus dioperasi. Dibawalah Rehan
belasan tahun itu ke Ibukota, ratusan kilometer dari kota kecil, jauh dari
Panti.
Kesehatannya berangsur-angsur mulai
membaik, dan di Ibukota ia tinggal di rumah singgah yang dikelola oleh Bang
Ape. Tempat itu menyenangkan, tidak seperti Panti. Bersama kedelapan orang
lainnya yang tinggal di rumah singgah, mereka sudah bagaikan sebuah keluarga.
Sejak saat itu, Rehan mengganti namanya menjadi Ray saja. Ia ingin melupakan
potongan hidup yang menyakitkan. Menguburnya dalam-dalam. Di Ibukota Ray mulai belajar
di sebuah sekolah informal, menjemput masa depan yang lebih baik sambil
mengamen bersama Ilham.
Kesenangannya sejak kecil tak pernah
berubah, ia selalu suka memandang rembulan di malam hari. Dan pada rembulan
itu, ia seolah mengajaknya bercakap, mengeluhkan sebuah pertanyaan “ada
puluhan panti di kota itu, mengapa ia harus menghabiskan enam belas tahun
berada di Panti yang tidak menyenangkan itu?”
Tiga tahun yang menyenangkan di Rumah
Singgah. Tiga tahun yang menjanjikan masa depan. Tiba-tiba semuanya berubah.
Mimpi-mimpi terbuang. Harapan-harapan tercerabut padahal hanya sepelemparan
batu lagi. Apa mau dikata, bukankah hidup selalu begitu? Menyakitkan.
Menyisakan kepedihan.
“Apakah hidup ini adil?”
Tega merenggut begitu saja kebahagiaan orang-orang yang selalu berbuat baik,
atau malah meluruskan perbuatan tidak baik orang-orang jahat. Apakah hidup itu
adil?
Ray memutuskan pergi dan menyewa
sepetak rumah dekat bantaran kali yang kumuh dan bau. Ia tidak lagi mengamen di
bus-bus kota tetapi berganti mengamen di setiap kereta listrik (KRL). Setiap malam
ketika bulan terlihat, Ray senang memanjat tower air. Sejak itulah ia akrab
dengan Plee, pria 40 tahun yang tinggal di rumah kontrakan besar dekat bantaran
kali. Bersama Plee, Ray ikut menjalankan misi pencurian besar. Berlian Seribu
Karat.
Sayangnya, pencurian yang sudah
direncanakan sematang-matangnya tidak berhasil. Alarm gedung lantai 40 tempat
berlian tersebut disimpan keburu menyala sebelum Plee dan Ray sempat melarikan
diri. Plee ditangkap petugas keesokan harinya pada saat Hari Raya tetapi Ray
tidak.
Setelah 6 tahun proses persidangan Plee
dan konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan, Ray memutuskan kembali ke
kota kecilnya. Ray menjadi salah satu buruh dalam pembangunan gedung 18 lantai.
Memang pada dasarnya ia cerdas, cepat memahami dan pandai menyimak, perlahan
Ray naik posisi menjadi mandor. Pertemuannya dengan si gigi kelinci memang tidak
romantis tapi mengesankan. Menikahlah ia dengan perempuan cantik itu, yang
ditemuinya pertama kali di kereta makan menuju kota kecil ini. Gadis dengan
wajah sendu, gigi kelinci.
Sayangnya, kebahagiaan itu hanya
berbilang beberapa tahun saja. Putri pertama mereka meninggal, menyusul
kemudian putri kedua beserta istrinya – si gigi kelinci. Kenapa langit tega
sekali mengambil istri dan calon anaknya? “Kenapa takdir menyakitkan itu harus
terjadi?”
Sepeninggal istrinya, Ray memutuskan
kembali ke Ibukota. Delapan tahun tidak menginjak di Ibukota, nalurinya ingin
mengulang masa-masa dimana ia menatap rembulan dari tower air di bantaran kali.
Berlian seribu karat itu, ah ya pesan dari Plee mengantarkannya menuju
kesuksesan di bidang properti. Ray mulai menangani proyek besar, tak
segan-segan menumbangkan pesaingnya, satu persatu ia miliki termasuk janjinya
untuk membangun gedung tertinggi untuk si gigi kelinci.
Namun Ray merasa hidupnya tetap hampa,
tidak sebanding dengan 6 tahun saat kebersamaannya dengan si gigi kelinci.
Sampai Vin memutuskan untuk tinggal di ibukota dan belajar bisnis dengan Ray.
Seakan kehadiran gadis itu membuatnya terasa menyenangkan. Vin, gadis yang
riang. Tetapi tetap saja “segala yang ia miliki tidak pernah
memberikan kebahagiaan seperti 6 tahun bersama si gigi kelinci, kenapa?”
6 tahun terakhir, Ray menderita
berbagai macam penyakit. Komplikasi dari kadar gula yang semakin parah,
serangan jantung, dan lain sebagainya. Muncullah pertanyaan terakhirnya, “kenapa ia harus merasakan sakit yang
berkepanjangan? Kenapa takdir sakit itu sangat mengukungnya?”
“Sejatinya pertanyaan itu tentang
definisi ukuran-ukuran. Apakah yang disebut dengan kejadian menyakitkan? Apakah
yang disebut dengan kejadian menyenangkan? Sejatinya pertanyaan itu tentang
perbandingan.” – (halaman 415)
Dan jawaban dari lima pertanyaan itu
didapatkannya dari seorang yang berwajah menyenangkan melalui perjalanan
mengenang masa lalu. Perjalanan hidup Ray selama 60 tahun yang telah
dilewatinya bersama dengan bagian-bagian tersembunyi dibaliknya. Maka
beruntunglah ia ketika diajak menuju tempat yang sama sekali tidak ia kenali,
rumah orang tuanya.
Karena sejatinya kehidupan itu adalah
sebuah sebab-akibat, interaksi yang terjalin sedemikian hebat dari Sang
Pencipta.
“Begitulah kehidupan. Ada yang
kita tahu. Ada pula yang tidak kita tahu. Yakinlah, dengan ketidak-tahuan itu
bukan berarti Tuhan berbuat jahat kepada kita. Mungkin saja Tuhan sengaja
melindungi kita dari tahu itu sendiri.” – (halaman
423)
Lalu, pertanyaan dari saya adalah:
Siapakah seseorang dengan wajah
menyenangkan tersebut? Apakah malaikat atau siapa?
Keterangan
buku:
Judul : Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Halaman : 435 hlm ; 13.5 X 20.5 cm
ISBN : 978-979-1102-46-3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terbuka untuk dikritik dan saran. Silakan :)