Jumat, 09 Januari 2015

[Review] : "Rembulan Tenggelam di Wajahmu"


“Bagai mengumpulkan air segalon raksasa lantas bocor, kebaikan-kebaikan itu musnah oleh penghujung yang jelek. Bagai musim kemarau yang panjang terkena hujan satu jam, keburukan-keburukan itu berguguran oleh penghujung yang baik.” – Halaman 166


Jika kamu diberi kesempatan untuk bertanya lima pertanyaan selama hidupmu, apakah yang akan kamu pertanyakan? Tunggu dan simak sebuah kisah tentang seorang anak yang selalu bertuah kemudian cermati jawaban-jawaban yang akan disampaikan oleh orang dengan wajah menyenangkan. Begitulah hidup, serangkaian proses yang saling berantai satu sama lain.

Kisah ini tentang anak kecil berumur belasan tahun itu bernama Rehan. Kebakaran lima belas tahun silam membuatnya kehilangan rumah serta kedua orang tua. Sejak saat itu, ia diasuh di sebuah Panti. Ia tumbuh bersama anak-anak Panti lainnya. Akan tetapi, Panti itu berbeda dengan panti-panti yang lain yang menyekolahkan semua anak didiknya. Di Panti tempat Rehan tinggal, penjaga Panti memaksa anak-anak untuk bekerja apa saja dan setiap hari diwajibkan menyetor uang tiga ribu rupiah kepada penjaga Panti. Ah ya, benar kata Rehan, penjaga Panti itu korup, sok-suci sok-alim. Rehan tumbuh tertekan bersama anak-anak Panti yang lain, tetapi ia berani melawan. Pecutan bilah bambu kerap kali mampir di telapak tangannya. Hingga hari itu menjelang Hari Raya ia mencuri brangkas milik penjaga Panti dan membawanya kabur, tanpa pernah kembali lagi.

Rehan sekarang memiliki tempat baru yang bebas dan menyenangkan. Di sebuah terminal. Ia mulai mengenal perjudian dan malam itu ia benar-benar bertuah, membuat bandar menjadi bangkrut dengan menebak tepat angka-angka dalam tiga buah dadu. Sampai suatu ketika, ia mengalami musibah yang menyebabkan ginjalnya terluka dan harus dioperasi. Dibawalah Rehan belasan tahun itu ke Ibukota, ratusan kilometer dari kota kecil, jauh dari Panti.

Kesehatannya berangsur-angsur mulai membaik, dan di Ibukota ia tinggal di rumah singgah yang dikelola oleh Bang Ape. Tempat itu menyenangkan, tidak seperti Panti. Bersama kedelapan orang lainnya yang tinggal di rumah singgah, mereka sudah bagaikan sebuah keluarga. Sejak saat itu, Rehan mengganti namanya menjadi Ray saja. Ia ingin melupakan potongan hidup yang menyakitkan. Menguburnya dalam-dalam. Di Ibukota Ray mulai belajar di sebuah sekolah informal, menjemput masa depan yang lebih baik sambil mengamen bersama Ilham.

Kesenangannya sejak kecil tak pernah berubah, ia selalu suka memandang rembulan di malam hari. Dan pada rembulan itu, ia seolah mengajaknya bercakap, mengeluhkan sebuah pertanyaan “ada puluhan panti di kota itu, mengapa ia harus menghabiskan enam belas tahun berada di Panti yang tidak menyenangkan itu?”

Tiga tahun yang menyenangkan di Rumah Singgah. Tiga tahun yang menjanjikan masa depan. Tiba-tiba semuanya berubah. Mimpi-mimpi terbuang. Harapan-harapan tercerabut padahal hanya sepelemparan batu lagi. Apa mau dikata, bukankah hidup selalu begitu? Menyakitkan. Menyisakan kepedihan.
“Apakah hidup ini adil?” Tega merenggut begitu saja kebahagiaan orang-orang yang selalu berbuat baik, atau malah meluruskan perbuatan tidak baik orang-orang jahat. Apakah hidup itu adil?

Ray memutuskan pergi dan menyewa sepetak rumah dekat bantaran kali yang kumuh dan bau. Ia tidak lagi mengamen di bus-bus kota tetapi berganti mengamen di setiap kereta listrik (KRL). Setiap malam ketika bulan terlihat, Ray senang memanjat tower air. Sejak itulah ia akrab dengan Plee, pria 40 tahun yang tinggal di rumah kontrakan besar dekat bantaran kali. Bersama Plee, Ray ikut menjalankan misi pencurian besar. Berlian Seribu Karat.

Sayangnya, pencurian yang sudah direncanakan sematang-matangnya tidak berhasil. Alarm gedung lantai 40 tempat berlian tersebut disimpan keburu menyala sebelum Plee dan Ray sempat melarikan diri. Plee ditangkap petugas keesokan harinya pada saat Hari Raya tetapi Ray tidak.

Setelah 6 tahun proses persidangan Plee dan konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan, Ray memutuskan kembali ke kota kecilnya. Ray menjadi salah satu buruh dalam pembangunan gedung 18 lantai. Memang pada dasarnya ia cerdas, cepat memahami dan pandai menyimak, perlahan Ray naik posisi menjadi mandor. Pertemuannya dengan si gigi kelinci memang tidak romantis tapi mengesankan. Menikahlah ia dengan perempuan cantik itu, yang ditemuinya pertama kali di kereta makan menuju kota kecil ini. Gadis dengan wajah sendu, gigi kelinci.

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya berbilang beberapa tahun saja. Putri pertama mereka meninggal, menyusul kemudian putri kedua beserta istrinya – si gigi kelinci. Kenapa langit tega sekali mengambil istri dan calon anaknya? “Kenapa takdir menyakitkan itu harus terjadi?”

Sepeninggal istrinya, Ray memutuskan kembali ke Ibukota. Delapan tahun tidak menginjak di Ibukota, nalurinya ingin mengulang masa-masa dimana ia menatap rembulan dari tower air di bantaran kali. Berlian seribu karat itu, ah ya pesan dari Plee mengantarkannya menuju kesuksesan di bidang properti. Ray mulai menangani proyek besar, tak segan-segan menumbangkan pesaingnya, satu persatu ia miliki termasuk janjinya untuk membangun gedung tertinggi untuk si gigi kelinci.

Namun Ray merasa hidupnya tetap hampa, tidak sebanding dengan 6 tahun saat kebersamaannya dengan si gigi kelinci. Sampai Vin memutuskan untuk tinggal di ibukota dan belajar bisnis dengan Ray. Seakan kehadiran gadis itu membuatnya terasa menyenangkan. Vin, gadis yang riang. Tetapi tetap saja “segala yang ia miliki tidak pernah memberikan kebahagiaan seperti 6 tahun bersama si gigi kelinci, kenapa?”

6 tahun terakhir, Ray menderita berbagai macam penyakit. Komplikasi dari kadar gula yang semakin parah, serangan jantung, dan lain sebagainya. Muncullah pertanyaan terakhirnya, “kenapa ia harus merasakan sakit yang berkepanjangan? Kenapa takdir sakit itu sangat mengukungnya?”

“Sejatinya pertanyaan itu tentang definisi ukuran-ukuran. Apakah yang disebut dengan kejadian menyakitkan? Apakah yang disebut dengan kejadian menyenangkan? Sejatinya pertanyaan itu tentang perbandingan.” – (halaman 415)

Dan jawaban dari lima pertanyaan itu didapatkannya dari seorang yang berwajah menyenangkan melalui perjalanan mengenang masa lalu. Perjalanan hidup Ray selama 60 tahun yang telah dilewatinya bersama dengan bagian-bagian tersembunyi dibaliknya. Maka beruntunglah ia ketika diajak menuju tempat yang sama sekali tidak ia kenali, rumah orang tuanya.

Karena sejatinya kehidupan itu adalah sebuah sebab-akibat, interaksi yang terjalin sedemikian hebat dari Sang Pencipta.

“Begitulah kehidupan. Ada yang kita tahu. Ada pula yang tidak kita tahu. Yakinlah, dengan ketidak-tahuan itu bukan berarti Tuhan berbuat jahat kepada kita. Mungkin saja Tuhan sengaja melindungi kita dari tahu itu sendiri.” – (halaman 423)

Lalu, pertanyaan dari saya adalah:
Siapakah seseorang dengan wajah menyenangkan tersebut? Apakah malaikat atau siapa?


Keterangan buku:



Judul                     : Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Penulis                   : Tere Liye
Penerbit                 : Republika
Halaman                : 435 hlm ; 13.5 X 20.5 cm
ISBN                      : 978-979-1102-46-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbuka untuk dikritik dan saran. Silakan :)